Senin, 04 April 2022

Analisis Semiotika Simbol Kekuasaan Pada Desain Rumah Adat di Toraja

Suku Toraja adalah suku yang ada di bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia.
Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk Todolo.
Bugis, To Riaja, yang berarti orang yang berdiam di negeri atas.
Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya.

 Manusia sebagai makhluk budaya mengandung pengertian bahwa manusia menciptakan budaya dan kemudian budaya memberikan arah dalam hidup dan tingkah laku manusia.Terdapat hubungan yang mutlak antara manusia dengan kebudayaannya sehingga pada hakikatnya dapat disebut sebagai makhluk budaya.

Dengan demikian, penggunaan simbol dalam budaya, merupakan alat perantara yang berasal dari nenek moyang untuk melukiskan segala macam bentuk pesan pengetahuan kepada masyarakat, sebagai generasi penerus yang diwujudkan dalam tindakan sehari-hari mereka sebagai makhluk budaya, lantas diharapkan mampu memberi pemahaman bagi masyarakat penggunanya.Intinya, seperti perkataan Geertz , Makna hanya dapat ‘disimpan’ di dalam simbol. Hal yang sama pada kebudayaan suku Toraja, yang hingga sekarang tetap menjaga kebudayaan mereka agar tak tergerus zaman yakni ukiran


Rumah Adat Toraja (Tongkonan)

Rumah adat Tongkonan merupakan salah satu rumah tradisional masyarakat Toraja Provinsi Sulawesi Selatan. Tongkonan adalah rumah adat orang Toraja yang merupakan sebagai tempat tinggal, kekuasaan adat, dan perkembangan kehidupan sosial budaya orang Toraja. Dikutip dari buku Injil dan Tongkonan: inkarnasi, kontekstualisasi, transformasi (2008) karya Theodorus Kobong, Tongkonan berasal dari kata tongkon yang berati "duduk", "menyatakan belasungkawa". Tongkonan berati tempat duduk, rumah, teristimewa rumah para leluhur, tempat keluarga bertemu untuk melaksanakan ritus-ritus adat secara bersama-sama, baik ART maupun ARS. Bangunan Tongkonan bukan sekedar rumah adat, bukan sekedar rumah keluarga besar, tempat orang memelihara persekutuan kaum kerabat. Apabila sepasang suami istri membangun rumah, pada prinsipnya sebuah Tongkonan telah lahir, walupun tidak dengan sendirinya setiap rumah harus menjadi Tongkonan.

Ukiran dan simbol yang ada pada Tongkonanuntuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial suku Toraja yang disebut Pa'ssura (tulisan). Oleh karena itu, ukiran dan simbol padaTongkonan merupakan perwujudan budaya Toraja dengan makna filosofi magis spiritual yang dalam di kehidupan mereka. Sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Sande (1989:1) menyatakan, ukiran Toraja mengandung arti dan nilai-nilai kehidupan dan berhubungan erat dengan falsafah hidup orang Toraja sesuai dengan kosmologi Aluk Todolo.Sekitar 67 jenis ukiran serta simbol yang menghiasi dinding bangunan tersebut, setiap ukiran dan simbol mempunyai makna yang berbeda-beda, sesuai dengan filosofis yang dipegang teguh oleh Suku Toraja. Dalam penelitian, dari 67 ukiran yang ada di Tongkonanakan dikerucutkan menjadi 4 ukiran dasar yang biasanya digunakan saat mengukir rumah adat suku Toraja, tepatnya di Tongkonan Layuk. Keempat
ukiran tersebut adalah Pa’ Barre’ Allo, Pa’ Manuk Londong, Pa’ Tedong, dan Pa’ Sussu’. Empat ukiran inilah yang menjadi peyangga utama dari semua ukiran yang ada. Peneliti ingin melihat bagaimana karya tangan tersebut dapat memengaruhi masyarakat Toraja dalam kehidupan sehari-hari.

Konsep Analisis Semiotika

Pengunaan kata semiotika lebih banyak digunakan daripada semiologi. Dalam berkomunikasi tidak hanya dengan bahasa lisan saja namun dengan tanda tersebut juga dapat berkomunikasi. Ada atau tidaknya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan semua itu dapat disebut tanda. Sebuah bendera, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, rambut uban, lirikan mata dan banyak lainnya, semua itu dianggap suatu tanda .

Masyarakat selalu bertanya apa yang dimaksud dengan tanda? Banyak tanda dalam kehidupan sehari -hari kita seperti tanda-tanda lalu lintas, tanda-tanda adanya suatu peristiwa atau tanda-tanda lainnya. Semiotik meliputi studi seluruh tanda -tanda tersebut, sehingga masyarakat berasumsi bahwa semiotik hanya meliputi tanda-tanda visual . Di samping itu, sebenarnya masih banyak hal lain yang dapat kita jelaskan, seperti tanda yang dapat berupa gambar, ukiran, lukisan, dan foto sehingga tanda juga termasuk dalam seni dan fotografi

Di dalam lingkup semiotika, Peirce seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Artinya, sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut ground oleh Peirce. Rumusan yang mengimplikasikan, makna sebuah tanda dapat berlaku secara pribadi, sosial atau bergantung pada konteks khusus tertentu. Tanda atau sign adalah bentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia padasesuatu yang merujuk hal lain di luar tanda disebut dengan representamen yang berfungsi sebagai tanda

Sebagian masyarakat Toraja memiliki griya yang berukir, dengan aneka gambar abstrak disertai dengan paduan warna hitam, merah, kuning, dan putih. Namun demikian, ternyata sebagian masyarakat di Tana Toraja tak mengetahui makna dari ukiran yang ada pada Tongkonan. Kemudian, berapa jumlah Tongkonan yang ada daerah penelitian penulis, Kecamatan Malimbong-Balepe’. Pertanyaan itulah yang akan menjadi fokus penelitian penulis selama berada di Tana Toraja.

Ketiga Tongkonan tersebut mempunyai kewajiban sosial yang bertingkat-tingkat dalam lingkungan budaya masyarakat Toraja. Duabelas ibu inilah yang membangun Kecamatan Malimbong-Balepe’. Jumlah pastinya tak bisa dihitung secara pasti sebab, tiap tahun bahkan bulan masyrakat sekitar membangun Tongkonan untuk menaikkan status sosial mereka.

Ukiran ini menjadi umum namun yang membedakan ukiran tersebut dari Tongkonan yang lain ialah Pa’sussu’. Biasayanya ukiran ini tak sembarang dipasang pada Tongkonan, hanya golongan tertentu saja yang boleh memakianya, seperti Tongkonan Layuk atau Pekaindoran. Ada 4 warna yang digunakan untuk mewarnai ukiran, yaitu merah,hitam, kuning dan putih. Warna tersebut diambil dari alam yaitulitak yang disebut litak mararang, litak mariri, litak mabusa, dan litak malotongHitam menjadi dasar tiap passura’ pada Tongkonan, karena kehidupan setiap manusia diliputi oleh kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kegagalan Presepsi Pada Iklan Shampoo Dove

Iklan dengan kegagalan presepsi merupakan iklan yang tidak berhasil menyampaikan pesan atau tujuannya dengan jelas kepada audiens atau khala...